Reformasi atau Stagnansi Birokrasi ?

reformasi stagnan

Modernis.co, Malang – Birokrat atau Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam organisasi pemerintahan. Mereka menjadi pelayan publik yang bertugas untuk melayani masyarakat. Tentunya, untuk menghasilkan sebuah pelayanan yang maksimal, dibutuhkan pegawai yang juga profesional dan berkompeten di bidangnya. Hal ini menjadi sebuah dasar bagi pemerintah untuk melakukan proses pengelolaan SDM yang ada di dalam tubuh mereka.

Berkaca dari hal tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pengelolaan SDM yang mereka miliki. mereka menginginkan adanya pemerintahan yang efektif dan efisien, meningkatnya integritas para pegawai, meningkatnya profesionalitas dan kompetensi yang mereka miliki, mengoptimalkan kinerja para pegawai mereka, menghapuskan praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), serta masih banyak lagi yang lain.

Pemerintah menginginkan itu semua, lantas munculah sebuah konsep reformasi birokrasi pada tahun 2010, yang berlandaskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi-Birokrasi Indonesia tahun 2010-2025. Ada beberapa hal yang menjadi sasaran utama, yakni terwujudnya suatu pemerintahan yang bersih, meningkatnya kualitas layanan publik dan kapasitas serta akuntabilitas kinerja birokrasi.

Sebenarnya, konsep dari Grand Design Reformasi Birorkrasi ini sudah cukup bagus. Pemerintah telah memikirkan bagaimana cara agar mengubah stigma masyarakat mengenai birokrasi di Indonesia yang buruk atau kotor. Karena hingga saat ini pun, stigma masyarakat mengenai birokrasi yang buruk dan kotor masih belum bisa hilang sepenuhnya, atau bahkan masih melekat dalam pandangan masyarakat mengenai hal tersebut.

Stigma tersebut masih sangat melekat dalam pandangan masyarakat karena masih banyak sekali ditemui praktik-praktik KKN, sistem pelayanan yang buruk dan lamban, para pegawai yang tidak kompeten, dan lain-lain. Hal tersebut seolah sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Dan dengan adanya hal tersebut seakan-akan menunjukkan adanya stagnansi pada tubuh birokrasi pemerintahan saat ini.

Adanya stagnansi pada tubuh birokrasi ini sesungguhnya merupakan sebuah penyakit di dalam tubuh pemerintah. Sadar atau tidak sadar, hal tersebut sudah diromantisasi oleh para oknum yang ada. Mereka menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah dilakukan. Bahkan fakta saat ini menunjukkan jika para pelaku kejahatan yang ada di dalam tubuh birokrasi justru mendapatkan “privilege atau keistimewaan”.

Banyak sekali para narapidana yang mendapatkan “keuntungan” tersebut. Sebagai contoh mereka mendapatkan sel dengan fasilitas kamar yang mewah. Selain itu, para eks narapidana juga mendapat kesempatan atau hak untuk dipilih dalam ajang pemilihan umum. Hal tersebut tentu menggambarkan bagaimana sebuah birokrasi yang amat sangat buruk yang saat ini terjadi di dalam sistem pemerintahan kita.

Hal tersebut menjadikan konsep Reformasi Birokrasi yang digagas oleh pemerintah selama ini menjadi sia-sia. Karena baik ada atau tidaknya konsep Grand Design Reformasi Birokrasi tersebut, perilaku para birokrat tetap sama, yakni menguntungkan diri mereka sendiri. Dimana seharusnya mereka justru memberikan manfaat lebih kepada masyarakat, sebagaimana kembali kepada peran mereka di awal yakni sebagai “pelayan” masyarakat. 

Jika berkaca dari berbagai fakta-fakta tersebut, sudah semestinya pemerintah untuk merombak sistem dan lebih gencar lagi memasifkan konsep Grand Design Reformasi Birokrasi yang sudah ada. Karena sejatinya, buruk atau baiknya sebuah birokrasi itu tidak hanya menyangkut masalah pemerintah saja, melainkan ada masyarakat juga yang ikut terlibat di dalamnya.

Jika dikembalikan dalam konsep awal demokrasi, dimana masyarakat memegang kedaulatan tertinggi dan seluruh hal yang dilakukan negara bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah benar-benar serius menangani masalah ini. Karena hingga saat ini, kasus-kasus yang ada di dalam tubuh birokrasi masih sangat banyak, salah satunya yakni praktik KKN.

Oleh : Priyanda Kevin Prasetyo (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment